Sepasang Monyet di Taman Buah Terlarang
Bagi Maria, sepasang pohon itu seakan tengah berdansa. Sebentuk dansa mengerikan bila dicermati dari samping. Kesiur angin gigilkan bulu roma. Pohon Hayat meliuk-liuk berontak. Sesekali kalem kemayu. Batangnya cenderung landai dan cebol dibanding Pohon Pengetahuan. Bonggol di antara keduanya lemah menopang, bak rusuk menyeruak daging. Mahligai keasrian sedang guncang. Kebersamaan bertahun-tahun tanpa harapan. Mendamba sekaligus menolak. Segan berpisah, sulit berlepas. Selagi rembulan merayap muda.
“Cocok untuk istirahat,” celetuk Danu.
“Buat api dulu. Kita tak tahu siapa hendak datang mengganggu.”
“Rewel!”
“Salahmu tak acuh!” Namun Danu tetap mengerjakan pinta Maria.
Selalu perihal angker bila bicara hutan. Padahal, lebih bahaya hutan beton ketimbang hutan pohon. Malam teramat garang. Siang menjadi jalang. Karenanya topeng monyet punah dari jalanan. Monyet-monyet bercinta di tanah yang lelah. Tempat di mana hujan tak pernah singgah, di mana bulir keringat dan air mata menguap oleh canda tawa. Monyet-monyet bertopeng memadati gubuk rombeng. Monyet-monyet berdasi penuh sesak di menara pencakar. Mereka bukan imigran dari planet monyet, melainkan turunan primata dunia lama.
Konon pepohonan pernah rimbun, tapi limbah cemari air tanah. Segala ampas tumpah ruah di sungai. Setiap sudut menjelma pembuangan akhir. Monyet-monyet pun jarang mandi. Aroma busuk disamarkan pengharum tubuh dan ruangan. Monyet-monyet gelisah jika lantai dan kaca mereka tak cerah, atau ranjang mereka tak digosok aneka zat sampai berkilat. Sementara yang tinggal di gorong-gorong paling suka nge-lem. Bungkam terhadap nilai-nilai yang dicekokkan ke kepala mereka. Cara murah menepis resah.
Alkisah, sepasang monyet geram tatkala sumber minum terlalu jauh. Bahkan harus disuling dahulu. Kadang penjual air menyuling sendiri dari air kencing. Saking jijiknya, mereka terpaksa puasa. Mengadulah keduanya kepada ketua lutung sebagai pimpinan tertinggi. Namun malah dimentahkan dan dianggap tidak pro-kerakyatan.
Danu dan Maria kecewa berat, apalagi mengetahui bahwa di tempat tinggal ketua lutung terdapat pancuran dari emas murni, dinding dan lantai dari batu pualam, dan telaga buatan yang jernih airnya. Keduanya menuduh ketua lutung memperkaya diri sendiri. Buktinya jelas melekat pada pakaian sutra nan lembut pengganti kain sarung butut yang biasa dipakai lutung ke mana-mana-sebelum jadi ketua. Keduanya ditawari untuk mencicipi secuil kemewahan itu. Namun mereka langsung menolak, dan bersumpah akan membuat perubahan besar. Danu dan Maria menyusun rencana yang melibatkan buah Pohon Pengetahuan. Namun mereka bingung bagaimana pohon itu bisa berbuah.
“Kalian mau ke mana?” tanya kera putih yang mengaku sebagai raja para kera. Saat berpapasan niatnya cuma usil, tapi ketertarikannya muncul setelah mendengar jawaban: “Mau ke Pohon Pengetahuan, Yang Mulia.”
“Ngapain pakai begituan, Nyet. Biar raja, tapi aku tak gila hormat. Omong-omong, kalian ke sana mau makan buahnya?” Danu dan Maria serentak mengangguk.
“Masak sih kalian tidak tahu itu buah terlarang? Oh, pasti ada sesuatu, ya kan?”
“Benar, kami ingin memusnahkan separuh penduduk lantaran kian padat. Tak cukup sumber daya bagi semua. Jargon gemah ripah loh jinawi semakin mengawang-awang. Harus ada yang dikorbankan.”
“Tahu apa sih kalian tentang pengorbanan, dan Pohon Pengetahuan itu sudah lama mandul.”
“Bukan barang siapa memakan buah Pohon Pengetahuan lantas mengetahui pasal jahat-baik dan salah-benar. Bukan pula menyingkap rahasia-rahasia semesta. Mukjizat pengetahuan itu berwujud wewenang menceraikan nyawa dari nama-nama pemiliknya.”
“Dasar monyet, kalian gemar menerkam satu sama lain!”
“Bicaramu cukup pandai, tapi itu bukan urusanmu. Lebih baik katakan saja cara agar pohon itu berbuah.”
“Syaratnya kalian harus dengar kisahku, bagaimana?” tawar raja kera. Sejenak Danu mengontak mata Maria, lalu sama-sama setuju.
“Sekadar mengingatkan supaya kalian mengubah niat bodoh itu. Biarkan saja jumlah penduduk meledak. Yang terpenting status mereka diangkat; dari miskin ke kaya misalnya.”
“Kau aneh,” tukas Maria. “Mustahil kaya jika tidak punya sumber daya untuk diolah.”
“Aneh karena kau tak tahu caranya. Begini, contoh kerajaanku, masyarakatnya kaya raya karena apa yang tertera di kartu nama adalah dirimu sebenarnya. Persetan bebet, bibit, bobot. Persahabatan biasanya berhubungan dengan kerjaan dan fungsi menyelubungi persaingan diam-diam. Investasi yang kami lakukan bukan semata demi uang, tapi untuk identitas kehidupan sosial agar kau diterima banyak kalangan.
Rakyatku anti-galau soal cinta. Misal, anak-anak rajin belajar sehingga mendapat nilai tinggi. Semakin tinggi maka semakin besar cinta induk mereka. Keberadaan mereka pun lebih dihargai di dalam keluarga. Cinta berbanding lurus dengan prestasi. Karenanya setiap individu didorong terus optimis dan berpikiran positif. Menyesal merupakan sia-sia belaka. Andai kejadian begitu, mereka lekas pulih bangkit. Dengan sedikit bantuan medis, rakyatku berhasil mengatasi dan kembali bekerja secara efisien. Maknanya inovasi tanpa henti dan siap bersaing. Yang kepalang malas akan tergusur sendirinya. Dalam waktu singkat rakyatku pensiun dini menikmati kekayaan mereka sampai tua. Hebat, bukan?”
“Rakyatmu selalu kerja, kerja, kerja ya? Kapan mainnya?” tanya Danu.
“Memangnya Taman Kanak-kanak? Dasar monyet!”
“Pasti banyak tragedi bunuh diri di situ.”
“Kalau daya beli tinggi siapa juga mau bunuh diri. Ngawur kau, Nyet!”
“Terus ngapain kau di sini?”
“Karena rakyatku sudah makmur, aku pun nganggur ha-ha-ha … sengaja tersasar supaya ada yang perhatian.”
“Ha-ha-ha … tuh kan aneh.” Danu dan Maria saling tatap lagi.
“Daripada kalian bersiasat di balik elegi, yang dengan sendirinya bermetamorfosis jadi kutu. Mungkin karena monyet hobi mencari kutu.”
Danu menggaruk kepala. Maria melirik menanti kutu loncat.
“Kok kalian cuma langak-longok. Komentar dong!”
“Kami sudah dengar ceritamu. Langsung saja beri tahu caranya.”
“Ya sudah. Begini, sebenarnya pohon itu punya kembaran. Pohon Hayat namanya. Kalian harus menyadap airnya untuk menyiram Pohon Pengetahuan. Kemudian tunggu sampai berbuah.”
“Mana kami tahu bedanya Pohon Pengetahuan dan Pohon Hayat?”
“Aku tidak bisa merincinya, tapi pasti kalian bakal tahu sendiri. Semoga berhasil.”
“Baiklah, terima kasih.”
Danu dan Maria melanjutkan perjalanan. Tentu sambil menggerutu.
“Aku paling malas menunggu,” tukas Maria.
“Sejak simpanse pertama mengantariksa, para monyet belum mampu menciptakan kendaraan melebihi kecepatan cahaya, apalagi berkunjung antarplanet, atau bahkan galaksi. Eh, sekarang disuruh menunggu.”
“Menyadap pohon, kau pernah?”
“Batangnya kita bolongi saja, siapa tahu keluar airnya.”
“Betul juga.”
Keindahan Geneyna manakala subur amatlah tersohor. Banyak peziarah mengalap berkah. Dari seluruh praktik ritual, salah satu cara buang sial adalah melempar celana dalam. Entah bodoh atau konyol, benda amis itu mesti menyangsang di dahan. Kini tiada lagi taman luas dengan pakis-pakis besar dan tetumbuhan bersulur. Namun masih dibanjiri kancut warna-warni. Ketika mereka tiba, sosok bonobo tampak asyik memunguti.
“Mau kau apakan semuanya?” sapa Danu.
“Jelas kujual,” jawab bonobo urung melamban.
“Idih, memangnya laku. Sudah bekas, kotor, lagi bau,” timpal Maria.
“Tinggal dibersihkan sedikit pasti laku. Di daerahku semua doyan belanja. Bahkan pembeli dan penjual tiada bedanya. Yang penting harga murah, pelayanan ramah, stok tersedia, dan gerai tetap buka. Apa saja bisa dijual selama giat mempromosikan.”
“Penduduk daerahmu mendadak konglomerat ya?”
“Tidak juga. Rutinitas warganya pekerja keras, tapi senang memanjakan diri,” ia mengutas senyum sebentar. “Gejolak emosi yang tidak diekspresikan suatu saat akan meletup dengan cara lebih buruk. Pernah dengar pepatah itu, kan? Makanya mereka enggan berlama-lama meredam hasrat keinginan.”
“Berarti segera harus diwujudkan?”
“Ya. Terutama soal penampilan. Masing-masing barang punya tren. Misal, seberapa tipis layar televisimu, makanan dari etnis mana yang sedang populer, atau model telepon apa yang terbaru. Sangat penting untuk tidak dibilang ketinggalan zaman.”
“Sangat penting juga mengetahui mana yang paling penting, dan untuk kepentingan siapa sesuatu itu dianggap penting,” celoteh Danu. Ia merasa percakapan di antara mereka tak penting-penting amat, kecuali ketika Maria menanyakan letak Pohon Hayat.
“Keterangan semacam itu cuma di film atau novel-novel fantasi.”
“Kau tidak tahu apa-apa.”
“Barangkali ada di belakang Pohon Pengetahuan. Lumrah bila kembaran kerap berada di balik bayang-bayang.”
Akhirnya ada gunanya, pikir Danu. Bibirnya manyun ke arah bonobo. Ia beralih ke sebatang pohon yang tak lagi teduh.
“Katanya kehidupan setiap makhluk tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Satu daun artinya satu kehidupan. Benar begitu?” tanya Maria dari belakang. Langkah kakinya kesulitan melintasi akar-akar.
“Keliru besar kau. Dinamakan Pohon Hayat karena daunnya bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit. Sedangkan buahnya memiliki kekuatan menghidupkan mayat dengan riwayat kematian wajar-karena sakit keras atau usia uzur.”
“Otakmu encer juga.”
“Aku baru ingat pernah baca tentang Pohon Hayat, tapi lupa di mana.”
“Berarti kita harus menebang pohon ini supaya rencana kita berhasil.”
“Justru jangan. Satu mati maka lainnya ikut mati.”
“Kuras saja airnya biar tak berbuah lagi, biar tambah kemuning daunnya.”
“Mau mati masih disiksa juga. Kau lebih tega rupanya.”
Danu sedang mujur. Secercah gagasan menuntunnya membuat aliran dari sayatan batang ke tanah sekitar pohon kembar. Namun dasar pohon sekarat, tetes airnya begitu lama bergulir sampai-sampai keduanya terkulai masai. Belum sempat menyimpulkan apa yang terjadi, nyaring tangis berkerumun membelalakkan mata Danu dan Maria.
“Ngapain banyak orangutan di sini?” Sebagian menenggelamkan wajah dalam lipatan lutut dengan punggung berurap luka. Sebagian lainnya menggeletak dan berguling-guling.
Danu geleng kepala. Ia bangkit mendekat. Kontan dicegah bonobo. “Cuek saja. Mereka tidak suka ditanya-tanya.”
“Raungan mereka bikin kaget dan kesal.”
“Tabiat penduduk dunia ketiga harap maklum. Mereka korban jual-beli buruh berupah rendah. Sedih lantaran kecewa campur marah. Bukannya meningkatkan kompetensi, malah meratap berhari-hari. Bagusnya mereka enggan mengganggu jika merasa tak diganggu.”
“Bagaimana jika mereka ganggu duluan?”
“Nanti juga ngacir disatroni mandor gorila.”
Benar bonobo bilang. Tak lama datang sang mandor bersama petugas pamong. Riuh orangutan terbirit-birit takut dipentung. “Tuh, lihat.”
“Kasihan banget,” susul Maria.
“Gorila itu memang bisnis jagal. Tidak heran banyak pelanggan jasanya.”
“Hei, kalian, balik kerja!” teriak si mandor mengobrak-abrik orangutan. Ia sempat menyapa bonobo sebelum lenyap dari pandangan, “Sudah numpuk, belum?”
“Ada bantuan selesai cepat,” balas yang ditanya menebah dada.
“Huh, basa-basi!” bisik Danu.
“Pilih mana; gorila itu mampir merecoki kerjaan kita atau lekas pergi?”
“Lebih baik pergi sih, tapi apa gerombolan orangutan itu sering kemari?”
“Kalau bukan mereka siapa lagi yang mau buang sial? Memangnya Pohon Pengetahuan ini masih berarti? Kau harus pandai memanfaatkan situasi.”
“Ya ampun.” Maria menepuk jidat sendiri.
“Ceritakan sedikit apa yang menimpa orangutan?”
“Kau bisa bilang mereka itu pemalas yang mendambakan hasil cepat.”
“Semua juga begitu.”
“Tapi mereka tidak sadar sebagai korban konglomerat yang monopoli seleksi sosial.”
“Seleksi sosial? Kata-katamu terlalu tinggi.”
“Sederhananya, pemodal besar menciptakan idola-idola melalui dunia hiburan. Misalkan melalui industri layar lebar. Media elektronik maupun cetak dibayar mahal untuk menaikkan beberapa nama. Kehidupan pribadi mereka adalah komoditas berharga yang patut dilipat gandakan nilainya.”
“Aku pernah bercita-cita jadi artis tersohor,” jelas Maria.
“Masalahnya di situ. Ego masyarakat di negeri orangutan terus dipompa semakin obsesif mengejar impian menuju bintang. Segudang kemewahan dan hak istimewa menanti bila kau berhasil mencapai status selebritis. Sebaliknya, gelar pecundang akan melekat selamanya saat dirimu gagal.”
“Ya, wajar. Rajin pangkal sukses, malas pangkal amblas.”
“Kau menulis takdirmu sendiri. Namun ketika segalanya melenceng, kau tidak boleh menyalahkan siapa pun. Cukup dirimu saja. Kemudian kau frustasi karenanya. Bayangkan itu terjadi padamu. Mau berbuat apa?”
“Bisa dengan jalan pintas kematian, atau pura-pura bahagia,” jawab Danu.
“Atau melampiaskan amarah secara acak. Atau membudidayakan takut dan menaati ketakutan itu. Siapa tahu justru membawamu ke arah lebih nyaman.”
“Kenyamanan jenis apa yang dilatari ketakutan?”
“Para orangutan.”
“Rasis!” singkat Danu.
“Pada suatu titik, kita adalah korban dari nilai-nilai yang dianut masyarakat, keluarga, dan bahkan dianut diri kita sendiri.”
“Itu pembenaran sepihak saja.”
“Tidak dapat dimungkiri bahwa kita juga menggunakan nilai-nilai tersebut untuk menghakimi sesama. Menciptakan korban serupa sebagaimana pribadi kita.”
“Maka dari itu semua harus dituntaskan. Siklus lingkaran dendam ini mesti diberantas. Satu-satunya cara yang dapat kupikirkan adalah memakan buah terlarang.”
“Seluk-beluk sejarah terus berputar seperti adanya, dan sejarah kita merupakan kumpulan kisah-kisah ketidakadilan, ketimpangan, dan kebencian. Mustahil berubah semudah kau bolak-balik telapak tangan.”
“Selain telapak tangan, kudengar tempurung bonobo juga paling keras.”
“Sudahlah, aku pamit. Kalian juga pulang saja. Butuh waktu berhari-hari untuk menyadap air kehidupan.”
“Kami mau menginap,” tukas Maria.
“Kalian takkan sanggup melewati malam di sini.”
“Memangnya ada apa?”
“Rasakan sendiri nanti. Aku sudah wanti-wanti. Semoga kita bertemu esok hari.”
“Kuyakin ia cuma menakut-nakuti.” Danu mencoba menenangkan Maria setelah bonobo pergi.
Langit hampir buram seutuhnya. Maria mengempaskan pantat di kelindan akar ramping. Lehernya menengadah. Tiba-tiba menoleh. Disusul Danu memburu dari mana arah berdebum barusan. “Siapa?”
“Taruh apinya, Nak. Bikin sakit mata,” suara serak mengiringi gemertak ranting dan dedaunan yang terinjak. Danu menuruti setelah tampak hidung bengkok milik kungkang tua.
“Astaga!” jerit Maria. “Pasti sakit sekali jatuhnya. Kakek tidak apa-apa?”
“Diam kau!” bentak sang lawan bicara. “Kalian mengganggu kenyamananku, dan api ini, lihat! Ya ampun, bagaimana kalau para raksasa memergoki kita? Matikan cepat!”
“Lamban kakimu tak sebanding racauan mulutmu, Kek.”
“Pokoknya matikan apinya! Kalian mengundang marabahaya!”
“Marabahaya, maksud Kakek apa?”
“Raksasa, mereka bisa menyerbu kita!”
“Tunggu dulu! Sedang apa sebenarnya Kakek di atas?” Maria menyela. Kungkang tua bergeming sambil meraup tanah sebisanya, lalu melempar ke arah bara.
“Tua bangka,” gerutu Danu. “Dongeng dipelihara.”
“Hei, Kek!” tegur Maria merasa diabaikan.
Kungkang tua mengacungkan jari. “Yang kalian lakukan di sini sungguh tak terpuji. Dulu pohon-pohon ini begitu dihormati dan dimuliakan. Diyakini penolak bala. Menyentuh saja tidak berani,” ia menyalahkan generasi muda penyebab masa kejayaan itu pudar.
“Yang benar saja, Kek. Kami harus menyembah dan memberi sesaji hanya untuk memakan buahnya?”
“Terkutuk kalian jika sampai menelan buah terlarang!”
“Nasib kami memang sudah dikutuk, Kek. Penyebabnya adalah keserakahan membabi-buta, terutama generasi jadul-nya, sehingga generasi kami menjadi tumbal. Salahkah jika sekarang kami melawan?”
“Mereka suka menggunakan istilah ‘buah terlarang’, ‘pohon keramat’, ‘arwah penunggu’ dan semacam itu untuk melarang kami melakukan sesuatu,” imbang Maria.
“Ah, sudahlah. Percuma bicara dengan kalian!” kumis dan janggutnya semakin menggerumbul.
“Nanti dulu, Kek. Soal raksasa itu apa benar ada?” Maria penuh antusias. Sementara kungkang tua melepas gusar. “Anak muda, biar kuceritakan padamu dongeng yang layak engkau camkan.”
Kungkang tua mengatur posisi agar dapat selonjorkan kaki. Maria condongkan muka berseri-seri. Danu melengos seraya bersandar.
“Pada masa itu,” ucapannya dijeda gerakan tangan mengibas jejak asap. “Para raksasa rajin menggarap tanah seolah yakin bahwa panen akan berlimpah. Jumlah mereka masih sedikit, tapi gila kerja. Padahal, mereka hanya memakan belalang serta madu hutan.”
“Tunggu dulu,” giliran Danu menyela, “intinya para raksasa itu kemudian ribut sendiri dan berselisih sehingga mengimbas taman ini. Begitu, bukan?”
“Bisa diam tidak sih?” sungut Maria. Kungkang tua hening agak lama.
“Metabolisme tubuhku semakin melambat. Jadi, biar kuselesaikan dulu.”
“Teruskan, Kek.”
“Ada benarnya juga sih kesimpulan tadi.”
“Hah, capek deh!” ujar Danu.
“Para raksasa tercipta dari serpihan bintang-bintang. Karenanya mereka menguasai pengetahuan benda-benda langit, dan mampu menaklukkan apa saja demi keuntungan mereka sendiri. Berbeda dengan kita yang hanya menunggu.”
“Menunggu apa, Kek?”
“Menunggu semua indah pada waktunya tanpa berbuat sesuatu. Kemudian memuja-muja mereka setinggi langit. Akhirnya ketika mereka berperang satu sama lain, kita sendiri yang kena batunya. Memang kita ini lahir dari batu sih.”
“Mereka berperang?”
“Para raksasa berebut kuasa taman ini. Saling menghabisi generasi ke generasi sampai tak ada lagi yang peduli. Sedangkan kita, kau lihat sendiri kan, siapa di antara kita yang bisa mengembalikannya?”
“Sayang sekali ya, Kek.”
“Hancurnya Taman Geneyna membawa kutuk. Dahulu Pohon Hayat dan Pohon Pengetahuan merupakan sumber kemakmuran. Artinya, benar-benar memberi kehidupan dan pencerahan bagi setiap makhluk. Kini menjadi terlarang.”
“Bukankah amat naif mengandaikan para raksasa tiada cacat sama sekali?”
Kungkang tua menjawab dengan isyarat kuku panjang tak terawat mengunci bibir.
“Kenapa?” protes Danu.
“Mereka datang. Bawa aku naik, cepat!” perintahnya. Mau tak mau Danu lekas menggendong kakek itu. Maria lebih dulu mencapai puncak Pohon Pengetahuan.
Lamat-lamat terdengar gemuruh. Kungkang tua menunjuk kepulan debu mendekat cepat. Menderu tak keruan.
“Seperti apa bentuk mereka?” bisik Maria.
“Awas kau terkencing-kencing!” kungkang tua menyela.
“Kata Kakek mereka raksasa, kenapa tidak sebesar gorila?”
“Itu perumpamaan saja. Kau tidak mengerti hiperbola?”
“Masih zaman ya bahasa begitu?”
“Diam kau, Danu! Aku sedang bicara dengan Kakek.”
“Memanjat pohon ini adalah bagian dari ikhtiar dan doa kepada langit.”
“Berisik, Kek!” damprat Danu. Suasana mendadak lengang.
Sepuluh raksasa menuruni anak tangga. Kompak hanya bercawat. Empat raksasa lain-berbadan tegap dan rambut cepak-menyambut mereka dengan perintah segera berbaris.
“Lihat sini, lihat sini! Ngapain kau tengak-tengok!” sebuah tendangan melayang ke perut penghuni barisan paling kanan. Kemudian diberdirikan lagi.
“Berapa lama kau ikut gerakan politik?”
“Tidak, Pak.”
Si penyidik beralih ke sebelahnya. “Kau berapa lama?” sama pertanyaannya.
“Tidak ikut apa-apa, Pak?”
Ia beralih ke nomor tiga, “Ada berapa anggota?”
“Saya tidak ikut. Saya pedagang kaki lima,” jawabnya lantang.
“Sudah kuat kau ya?” sepatu lars menyepak pahanya. Kontan lelaki muda itu ambruk. Kemudian diberdirikan kembali oleh anggota penyidik.
Pindah ke nomor empat, lelaki bertato harimau di dada.
“Kau menyelundupkan senjata api?”
Sekonyong-konyong ia berusaha kabur. Namun anggota yang lain sigap meraih belati, dan dengan satu gerakan saja membabat lehernya. Terdengar suara tenggorokannya menjemput maut.
Interogasi terus berlanjut hingga tiba di ‘antrean’ terakhir, sosok perempuan kerempeng berdada layut. Wajahnya menyimpan nyeri.
“Hei, kopi lendot!” si penyidik meraup kepala plontosnya. “Kau diperintah siapa?”
“Ampun, Tuan.”
“Jawab!”
Ia tak sanggup menatap mata nyalang itu. Sekujur tubuhnya keringat dingin. “Saya tidak ikut apa-apa, Tuan.”
“Kau cuma penghibur biasa di warung remang-remang, bukan?”
“Betul, Tuan.”
“Jangan berlagak pilon kau ya! Mereka saban hari kumpul-kumpul membicarakan pemberontakan. Kupingmu tentu tidak tuli. Katakan rencana besar mereka?”
“Jujur, Tuan, saya tidak mengerti sama sekali.”
“Mau kubuat budek selamanya? Katakan cepat!”
“Ampun, Tuan,” jeritnya pilu manakala ujung belati mengusap pipi. Merambat pelan menuju daun telinga.
“Sewaktu kau menari-nari telanjang sembari menyilet-nyilet pejuang kami, apa kau dengar permohonan ampun mereka?”
“Tidak ada, Tuan. Tidak tahu ada peristiwa itu.”
“Masih berbohong pula kau, Sundal. Beritanya sudah menyebar di mana-mana!”
“Saya tidak berbuat apa pun, Tuan. Ampun, Tuan.”
Si penyidik memberi tanda anggukan kepala. Sekejap anak buahnya melumpuhkan yang masih tersisa. Demikian pula belati haus darah di tangannya melesat mencium pita suara sang mantan biduan.
“Bersihkan semua.”
“Siap, Dan.”
Sementara Danu, Maria, dan kungkang tua, menahan mual agar tidak tumbang. Ketiganya baru berani turun setelah para raksasa benar-benar pergi. Kungkang tua langsung sempoyongan. Maria menuntunnya bersandar. Perlahan, degup jantung kembali normal.
“Para raksasa menjadi iblis penjebol pintu neraka,” ucap Maria memecah kebekuan. “Mayat-mayat itu dijebloskan ke lubang yang sama.”
“Nasib mereka tambah nelangsa ketika harus diinterogasi lagi di dunia arwah,” sahut kungkang tua. “Barangkali malaikat penjaga kubur sudi berbagi tempat saking sempitnya.”
“Itu hanya mitos.”
“Kau sendiri bagaimana, masih berniat menumbuhkan buah terlarang?”
“Pantang mundur!” tegas Danu.
“Semoga tercapai, Nak.” Kungkang tua bangkit. “Bersama doaku agar pohon itu lekas berbuah sebagai penanda kembalinya masa lalu.”
“Kami punya cara lebih baik, Kek.”
“Aku percaya kau sanggup,” telapaknya meninggi seperti memberkati. “Dalam hidup kita butuh romansa, sekalipun kau tahu keajaiban bukan hal nyata.” Kemudian ia pamit menyongsong dunia dengan ketabahan di setiap langkah.
“Ternyata ia lebih pesimis dari kita.”
“Omong-omong, Maria, siapa kali pertama hendak kau ganyang setelah memiliki kekuatan buah terlarang?
“Tentu lelaki yang mencampakkanku setelah menabur benih di perutku.”
“Bukankah ia sudah kembali?”
“Setelah bangkrut, setelah gundiknya beralih ke lelaki lain, setelah kita bersama. Jangan harap aku mau menerima.”
“Kemudian siapa lagi?”
“Masih belum memutuskan. Tapi kenapa kau menanyakan itu. Bukankah sedari awal kita ingin menghukum penduduk negeri?”
“Agak melenceng sedikit; sasaran pertamaku untuk para raksasa.”
05/03/2019
Cerpen dan puisi K. El-Kazhiem lainnya dapat dibaca di sini