Pengetuk Pintu
Tangis anak kecil itu selalu meledakkan lelapku. Suaranya aneh. Isaknya menggumam dan jeritnya mencicit. Kadang dia mengerang dengan bunyi seperti melafalkan huruf ‘a’ sembari kepala digeleng-gelengkan. Aku baru saja pindah ke kontrakan ini. Tadinya tidak pernah kudengar kegaduhan itu. Mungkin pernah, tapi lantaran terlalu capek setelah pulang kerja maka terabaikan begitu saja. Belakangan setelah aku menganggur, dan saban hari tinggal di kamar dengan pintu tertutup, pendengaranku semakin peka. Kendatipun berusaha menidurkan pancaindra, justru tidurku tak kunjung pulas. Pengangguranku bertambah lengkap dengan menjadi manusia malam. Anak kecil itu yang salah. Lebih salah lagi adalah peronda yang gemar memukul tiang listrik sehingga membangkitkan kebisingan yang terus mengusik. Jam tidurku pun berubah. Yang namanya ketenangan, baru dapat kurasakan menjelang subuh.
Ada enam pintu di kontrakan ini. Kamarku keempat sementara sumber malapetaka itu ada di nomor satu. Dihuni oleh si pemilik seluruh pintu. Seorang perempuan yang kukira sekitar 30-an usianya. Tak pernah kulihat suami dan anaknya. Namun, aku yakin tangis aneh itu berasal dari sana. Gangguan itu dimulai jika pintu rumahnya menutup. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Meski tidak mempunyai pekerjaan tetap ala kantoran, aku masih bisa mencari nafkah pribadi dari upah menulis artikel, cerpen, atau puisi. Tentu saja keheningan adalah sahabat utama untuk berpikir. Alih-alih demikian, otakku tak lepas dari mencibir.
Suatu hari aku bertanya kepada tetangga sebelah, seorang ibu paruh baya yang tinggal lumayan lama di lingkungan ini. Tampaknya dia hanya mengandalkan penghasilan putranya sebagai pegawai honorer, atau putrinya yang bekerja di minimarket. Pemilik kos sesungguhnya, kata ibu itu, adalah sang suami. Tapi jarang datang karena status perempuan itu cuma istri kesekian. Menurutku, biasanya sih istri muda yang selalu didatangi, tapi penekanan ‘kesekian’ menyiratkan kata lain, yaitu simpanan. Aku tidak peduli. Yang kuharapkan anaknya tidak melulu merusak kenyamananku.
“Apa Ibu sendiri enggak keganggu sama tangisan anaknya?”
“Sudah biasa kok, Mas. Sudah maklum.”
“Kita kan ngontrak, Bu. Ketenangan juga fasilitas loh.” balasku.
“Habis mau bagaimana lagi. Namanya juga sakit.”
“Sakit apa memangnya, Bu?”
“Setahu saya sih sakit parah sejak lahir sampai pakai selang di kepalanya.”
Romaku bergidik. “Ngeri juga ya.” kataku dengan nada meluncur rendah. Tiba-tiba muncul iba di hati. Pasti sangat berat cobaan induk semang kontrakanku ini.
“Makanya harus nyalakan AC terus biar suhu ruangan bagus. Katanya untuk membantu penyembuhan.” tambah tetanggaku. Kepalaku mengangguk-angguk tak tahu harus berkata apa lagi. Paling tidak, sekarang aku mengerti hal-ihwal tangisan itu.
Sesulit apa pun hidup tetap harus dijalani. Demikian pula hidupku yang morat-marit sejak diberhentikan dari pekerjaan. Dulu jabatanku sebagai editor di sebuah penerbitan. Tapi karena manajemen keuangan yang tidak beres dan transparan maka penerbitan itu terpaksa bubar. Sebelum memecat pegawainya, bosku sampai meminta maaf dengan mata berair karena tidak bisa memberikan pesangon. Sampailah aku di sini. Untuk mudik ke kampung pun malu lantaran tidak berhasil mengadu nasib di perantauan. Aku harus menjalani hidup luntang-lantung dan kerja serabutan. Awalnya bisa bertahan hidup dari tabungan, tapi lambat laun isi rekening ludes sama sekali. Apa dayaku, mau melamar di penerbitan lain juga sudah kapok. Dunia penerbitan sekarang ibarat sinetron atau film yang mendominasi negeri ini. Isinya kalau tidak romansa berkemas religi, ya horor, atau komedi. Lesu dan tidak trengginas seperti dekade 60 sampai 90an. Semua seragam untuk dijual.
Yang paling menyedihkan sejujurnya cerita-cerita horor. Pembaca atau penonton digali ketakutannya setengah mati hanya untuk melihat atau membayangkan sosok-sosok alterego bergelar hantu. Padahal, yang lebih seram dan mengerikan adalah melihat pembunuhan massal manusia yang terjadi di mana-mana. Sungguh konyol menurutku, sepertinya definisi horor sudah salah kaprah. Entahlah.
Kalaupun aku harus melamar kerja di bidang lain, usiaku sudah mulai kepala tiga. Sangat jauh dari kriteria standar fresh graduate yang diminta oleh perusahaan. Mau bikin usaha sendiri tidak punya modal. Cuma kemampuan kecil yang sekarang kumiliki yang bisa kuandalkan guna menyambung hidup.
Setiap hari aku mencari lowongan pekerja lepas. Yang penting periuk nasi masih bisa mengebul. Makan nasi berkuah kecap pun kujalani agar perut tetap terisi. Menyedihkan memang bila mendengar gerutu si Lugu dalam karyanya Voltaire; alangkah mahalnya hidup cuma karena ada perut. Apakah hidup begini tidak cukup mengerikan? Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana rupa orang-orang yang kelaparan di negara paling miskin. Barangkali lebih horor dari penampakan mayat hidup dalam film-film Hollywood.
Akhirnya, aku bisa memaklumi kondisi anak itu. Hampir setengah tahun aku bertahan di kontrakan milik ibunya. Tapi mendadak situasi berubah. Sepertinya desas-desus berembus mengarah kepadaku yang selalu mengunci diri. Pintuku selalu tertutup. Kadang ada yang mengetuk sekali dua kali. Bisa jadi mereka mengiraku orang brengsek yang tengah sembunyi. Teroris mungkin, bukankah itu jenis ketakutan baru yang sengaja ditimbulkan sepenjuru bumi? Aku malas membuka pintu. Pikiranku cukup praktis saat ini. Pintu baru kubuka untuk siapa saja yang memberiku makan atau uang. Aku sudah berikhtiar untuk bekerja, tapi tak pernah ada kabar gembira. Mungkin hidupku semakin mengarah ke gerbang pemakaman. Mungkin pula menjadi arwah penasaran.
Aku tidak tahu bagaimana jadinya nanti. Tidak tahu cara ajal mendatangiku. Yang jelas telah kututup pintu dan jendelaku agar sang pencabut nyawa tidak bisa menemukan cara masuk ke dalam kamar. Aku telah menutup semua kemungkinan orang lain mengintip. Yang kusisakan hanya lingkaran kecil di antara lembaran koran penutup kaca. Gunanya untuk melihat siapa yang datang, atau sekadar iseng mengetuk pintu. Beberapa kali kudengar keributan suami istri. Tapi untuk apa keluar menyaksikan urusan orang lain. Tangis bocah pesakitan itu juga kadang lebih lantang. Masa bodoh.
Apa yang sedang kulakukan? Nihil. Hanya melamun memandangi langit-langit kusam. Suatu ketika hujan deras dan air merembes pelan sampai benar-benar menetes bak ulir keran yang longgar. Aku bergeming menyaksikan lantai kamarku basah kuyup. Sama sekali tidak kulaporkan ke perempuan itu. Untuk apa, toh yang dia pedulikan hanya bayaran bulanan. Putranya butuh berobat, putranya perlu menebus resep dokter, putranya kritis, dan segala macam dalih dilontarkan atas nama anaknya saat sedang menagih. Nadanya meninggi dan bergetar. Menahan geram di antara rahang sebelum menghardik penghuni telat bayar.
Sesekali aku membuka laman media sosial, kawan-kawan menyapa dan mengajakku bertemu. Namun, ada banyak alasan dapat kuberikan. Bahkan mereka sendiri sampai ikut membatalkan. Tidak alasan penting yang sungguh memaksaku mau beranjak dari kasur. Padahal, untuk datang ke pertemuan mereka, aku harus mengeluarkan biaya; dari ongkos perjalanan sampai saweran membayar makanan pendamping obrolan basa-basi dan ketawa-ketiwi. Setiap kata, setiap pikiran, dan setiap emosi kembali ke masalah satu inti; bahwa hidup itu tidak berarti.
Bagaimana cara bunuh diri terbaik tanpa meninggalkan rasa sakit? Apakah dengan gantung diri, atau menyayat urat nadi? Tiada palang atau batang pohon untuk memasang tali. Sedangkan untuk menyentuhkan mata pisau ke pergelangan, sungguh nyaliku tak bertaji. Barangkali karena aku bukan orang yang mampu menahan sakit. Membayangkan jasadku menggelepar kehilangan darah membuatku tak sanggup berniat bunuh diri. Namun, hidup tak keruan seperti ini terus menghasutku supaya tega membinasakan jasad fana ini. Bukankah yang abadi itu cuma roh? Dan rohku rupanya terlampau gemas dan muak.
Bagaimana dengan racun? Kamu bisa minum detergen, obat-obatan, alkohol? Tanya rohku yang maksudnya mengusulkan sesuatu. Biarkan aku bebas dari penjara tubuhmu, desaknya. Lompat saja dari gedung bertingkat atau ke rel kereta biar lumat, dan polisi tidak bisa mengidentifikasi dirimu sehingga keluargamu takkan tahu kamu masih hidup atau tidak.
Bisa diam tidak?! Mengapa dia lebih berisik dari tangisan bocah itu? Padahal, ini tubuhku. Aku yang mengendalikannya. Bukan rohku. Aku tahu yang tersisa hanya kebingungan. Kekesalan turut melapisi sehingga kulampiaskan saja pada barang-barang. Kulempar, kubanting, atau kuinjak-injak. Aku benci.
“Mas Rama, Mas Rama ….” panggil seseorang bersama ketukan keras di pintu. Dari suaranya kurasa perempuan itu. Mau apa dia, pikirku. Sengaja kudiamkan.
Suara sendal sengaja diseret-seret mendekati pintu di keesokan hari. Dia mengetuk dan memanggilku lagi. “Buka pintunya!”
“Ada apa, Bu?” bisa kudengar suara lelaki di luar menghampiri perempuan itu.
“Di dalam ada orangnya nggak sih?” tanyanya.
“Enggak tahu, Bu. Coba dicek saja.”
“Sudah saya ketuk berkali-kali.”
“Memangnya Ibu enggak punya kunci serep?”
Aku tahu matanya mencari tahu keberadaanku dari lubang kunci. Gawat! Bagaimana jika perempuan itu ternyata memiliki cadangannya. Dia akan memergokiku terkapar tanpa sehelai benang. Ya. Semua stok pakaian di lemari sudah masuk ember cuci. Tenaga sudah nyaris habis. Ke kamar mandi saja harus mengandalkan dinding. Lidahku belum mengecap makanan dalam tiga hari. Air minum pun menipis. Jangan-jangan memang begini caraku mati. Kelaparan dan telanjang menantang Tuhan.
“Saya lupa di mana kuncinya, Mas.”
“Mungkin memang pergi orangnya.”
Napasku berembus lega ketika mereka menyudahi pembicaraan dengan langkah kaki menjauh. Sementara senyap. Kupejamkan mata. Namun gemerisik di sudut kamar cukup ampuh mengangkat kelopakku. Seperti bunyi kuku yang sedang menggaruk kulit. Kencang sekali. Di antara keremangan kucoba mendekat dengan merangkak. Perlahan kutempelkan telinga ke dinding, dan suara itu semakin keras. Bahkan kuku-kuku itu seolah ingin menggaruk telingaku.
“Huuu … huuu … hmmm … hmmm ….”
Kontan mataku membelalak. Tak percaya yang kudengar. Jarak kamarku dengan anak itu cukup jauh. Tapi suaranya seakan dibatasi sehelai tirai. Aku bergegas kembali ke kasur. Menutup telinga dan mata. Gumamnya langsung menjadi jeritan yang tertahan di tenggorokan, seakan susah payah meronta dalam cekikan. Kubalikkan badan menelungkup. Suaranya semakin parau. Namun sepanjang hari dia terus menyiksaku. Bahkan jika sampai malam diteruskan, bisa rusak saraf pendengaranku. Menjelang senja barulah suaranya berangsur hilang sedangkan peluh kelelahan mengucur dari pori-pori kulitku. Tak sanggup bangun. Semoga kesadaranku ikut padam, biar saja, segera mati daripada tersiksa begini.
Aroma sangit mencucuk penciumanku sementara perut bertambah sakit akibat menahan lapar. Aku terjaga oleh tengik badanku sendiri. Sudah berapa hari lupa mandi. Matahari menyelusupkan cahayanya lewat ventilasi, dan bau di kamarku kian trengginas. Aku merangkak menuju kamar mandi, tapi ketukan di pintu menolehkan wajahku. Kali ini intonasinya datar dan lemah. Tiada yang memanggil namaku. Tampaknya bukan pemilik kontrakan, dan aku mengintip dari lubang kertas.
Astaga! Kepalaku langsung mundur ke belakang. Sekilas barusan kulihat lengan mungil dan sosok anak kecil itu. Tapi wajahnya tak dapat kutangkap. Diakah yang mengetuk tadi? Tanya batinku. Kucondongkan wajahku untuk memastikannya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ke mana perginya? Tapi sebentuk bola mata mendadak beradu tatap denganku. Kekagetanku meletup lagi. Sialan!
“Huuu … huuu … huuu … huuu ….”
“Hmmm … hmmm … hmmm … hmmm ….”
Tangisan aneh itu pecah kembali.
Brak!
Saking marahnya, kutendang pintu di hadapanku. Aku tak mengerti dari mana datangnya kekuatanku. Bocah tak tahu diri ini telah membuatku ketakutan setengah mati. Namun suaranya terus berdengung di kepalaku.
“Bisa diam, enggak?” giliran kepalan tanganku yang menghantam berdentum-dentum.
Suara bocah itu seketika berhenti. Tiba-tiba dari bawah pintu, secarik kertas diselipkan. Kuraih dan isinya kubaca. Ternyata kuitansi pembayaran kontrakan sebesar satu juta setengah rupiah untuk tunggakan dua bulan. Tertera pula ancaman pengusiran bila tidak segera bayar. Hatiku serasa ditohok dalam-dalam. Perempuan itu sengaja menggunakan anaknya untuk menjebakku, untuk memastikan keberadaanku. Sialan! Baiklah, perempuan ini memang sengaja mempermainkanku. Lain kali akan kupergoki. Lihat saja nanti.
Aku terus menunggu kedatangan perempuan yang tak punya kepedulian itu. Tepatnya perempuan kejam tak berhati. Anehnya, selama menunggu tindakannya, aku memiliki harapan untuk bertahan hidup walau sekadar untuk balas dendam. Kucari receh demi receh yang menyelip di kantung celana, pinggiran tas, sudut lemari, di mana saja di dalam kamarku. Kemudian kubelikan mie instan di warung depan. Selama tiga hari aku bisa mengisi perut dengan makanan keriting itu. Aku punya tenaga untuk mencuci beberapa kaos dan celana pendek. Termasuk sarung yang kerap kujadikan selimutku tiap malam.
Waktu yang kunantikan datang. Aku tidak menyadarinya. Bahkan hampir melupakan kejadian tempo hari. Ketika sedang asyik melamun, ketukan datar itu datang lagi. Kulihat telepon genggam yang telah tamat riwayat pulsanya. Sepuluh menit menuju tengah malam. Perempuan itu sungguh gila, masih juga menagih di jam begini. Barangkali anaknya masih terbangun dan dia gunakan untuk mengerjaiku. Ketukan tanpa semangat bergetar di pintu. Sengaja kudiamkan, lalu tangisnya mulai terdengar.
Mungkin inilah waktu yang tepat untuk melabraknya. Mungkin aku harus membentak dan menghardiknya. Melebihi dari apa yang dia lakukan padaku. Kalau perlu, aku akan menyerangnya ketika dia mengancamku. Namun ketukan itu malah berhenti, dan aku masih menunggu. Kulihat bayangan di bawah pintu. Apakah ada langkah-langkah kaki di sana? Sepertinya tidak ada. Tidak jelas juga lantaran cuma lampu di tiang listrik — dekat kios klontong — yang memberikan pencahayaan. Sengaja kuintip dan kios itu tidak buka. Biasanya ada bapak-bapak yang suka nongkrong di sana. Aku kembali ke kasur. Melihat langit-langit yang semakin kabur ketika malam. Semenjak penderitaanku mulai mengganas, lampu kamarku memang tak pernah menyala.
Lantas ke mana perginya perempuan itu? Bagaimana jika dia membawa orang-orang, seperti petugas siskamling, atau Ketua RT, atau suaminya? Ah, aku tidak peduli apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Aku terus menunggu sampai kantuk menyerangku. Andaikan ada kopi. Tiada guna berandai-andai. Mataku melirik telepon genggamku. Ada pikiran untuk menjual barang itu semurah-murahnya agar aku bisa makan. Lalu berpindah ke komputer pangku yang usianya telah lawas. Perlukah kujual juga? Toh sudah lama tak ada kerjaan yang menyambangiku. Komputer itu tak berfungsi untuk menafkahiku lagi. Justru kesannya cuma barang rongsokan. Kalau kujual paling tak sampai sejuta. Bisa jadi kurang dari setengahnya. Daripada pusing memikirkannya, lebih baik tidur saja.
Tok … tok … tok … tok. Ketukan itu lagi! Mataku serta merta melotot. Buru-buru kuraih kaos dan celanaku. Akan kuhentikan ulahnya. Namun bukan hanya ketukan yang memburuku, jerit kesakitan itu juga terdengar lagi. Disusul dengan tangisan si bocah yang kedengaran lebih buruk dari sebelumnya. Isaknya sesenggukan seperti lolongan anjing yang sedang dipukuli.
“Huuu … huuu … huuu … huuu …. hmmm … hmmm … hmmm … hmmm ….”
Aku berdiri di depan pintu. Berhadapan dengan perempuan sinting itu. Sejenak pikiranku merancang kata-kata. Namun kuputuskan untuk membiarkan segalanya mengalir. Yang penting adalah membuka pintu itu. Kugenggam pegangan pintu berlapis kuningan itu. Angka demi angka bermunculan mengiringi benakku yang menghitung maju. Tapi selalu hilang begitu kuulang dari nomor satu.
Satu … dua … ah, tangisan itulah yang selalu melunturkan keberanianku.
Satu … dua …
Tiba-tiba kudengar namaku disebut. “Mas Rama … Mas Rama.” Namun aku kenal betul, pemilik kontrakanku tidak bersuara begitu. Suaranya seirama dan mirip dengan tangisan itu. Persetan, meski bukan orang mampu, tapi aku punya harga diri. Kuputar gagang pintu dan membukanya segegas mungkin. Perempuan itu berdiri dengan mengenakan daster putih. Dia menyambut kehadiranku dengan tangisnya yang tersedu-sedu. Bocah itu berada dalam dekapannya. Menatapku seraya menyeringai. Cuma kepala bertanam selang tanpa badan.
Cerpen dan puisi K. El-Kazhiem lainnya dapat dibaca di sini.