Rimba Ibu Kota

K. El-Kazhiem
9 min readOct 20, 2020

--

sumber foto: http://taufiqurokhman.com/
sumber: http://www.asiagreenbuildings.com/wp-content/uploads/2016/10/JAKARTA-OFFICE-HERO-768x384.jpg

Mataku baru saja berpijar. Belum lagi kutuang seluruh waktu dalam secangkir kopi, dia datang dengan ajakan menyala-nyala. Tentu kusambut dengan kuap napas beraroma neraka dan ketidakacuhan. “Ayo ikut!” paksanya.

“Ke mana?”

“Sungai Ciliwung.”

“Ngapain?”

“Aku penasaran.”

“Aneh banget kamu. Penasaran kok sama sungai keruh dan bau.”

“Ikut saja. Bantu aku!”

“Enggak jelas. Mending aku tidur lagi.”

“Nanti kutraktir sarapan.” Kurang ajarnya dia memanfaatkan situasi dompet bututku yang sedang lompong. Tanpa ­ba-bi-bu tubuhku kontan memasang postur tegap. Keruan saja keroncong perutku semakin lantang. Bahkan aku berjalan paling depan bak pemandu wisata.

“Sekarang kita di sini, terus apa?” tanyaku sesampainya di pinggir jembatan. Namun bukannya menjawab, dia malah menaiki pembatas beton. Aku terkejut sekaligus malu. “Mau apa nangkring di situ?”

“Kok jauh-jauh sih? Tidak ada orang yang peduli sama kita. Memangnya kamu selebritis apa?”

“Sekarang ini bukan cuma selebritis yang jadi sorotan. Gembel kayak kamu bisa masuk koran kalau bisa bikin berita sensasional.”

“Sudah, cepat ke belakangku sini!”

Aku menurut saja supaya keganjilan ini cepat selesai. Sebenarnya pikiranku tak tertuju pada kelakuannya, melainkan ke arah mentari kian meninggi. Aku takut nasi uduk Mpok Minah yang sedap itu ludes diburu orang, dan bakal ada alasan untuknya membatalkan makan gratisku.

Belahan pantatnya yang sedikit tersingkap dalam posisi berjongkok itu membuat semur jengkol di benakku memudar. “Awas kalau kentut, kudorong betulan kamu!”

“Iya, itu maksudku. Kamu arahkan ke bagian sungai yang menurutmu paling dalam, terus dorong kuat-kuat!”

“Dasar gila! Kalau frustasi jangan ajak orang lain dong!”

“Aku serius,” sambil memutar badannya menghadapku. Dalam posisi begitu masih bisa akrobat nih orang, pikirku. “Begini, apa kamu tahu yang namanya waktu?” tanyanya menunjuk mukaku.

“Ya tahulah.”

“Apa coba?” cengirnya melebar seolah meremehkanku.

“Aduh ribet, sebenarnya kita mau apa di sini?” kesalku sembari garuk-garuk kepala.

“Tadi kan sudah kusuruh buat dorong, malah ngeyel terus.”

“Kamu mau bunuh diri atau lagi cari orang buat bunuh kamu?”

“Siapa juga yang mau bunuh diri?”

“Terus ngapain aku harus dorong kamu?”

Dia kembali berakrobat dengan merentangkan kakinya untuk selonjoran. Tadi jongkok, sekarang duduk. Kepalaku tambah geleng-geleng.

“Kamu tahu tidak bahwa, yang namanya waktu seperti arus sungai? Ia terus mengalir membawa kita menjalani hidup dari zaman ke zaman. Kita terus menyebut waktu yang belum kita arungi sebagai ‘masa depan’, tapi coba kamu lempar sebuah batu ke sungai.”

Dia menyorongkan dua buah batu berbeda ukuran dari kantong celananya. Yang satu lebih kecil. Aku bergeming antara bingung dan gerutu mengapa harus mengikuti sirkus dadakan ini. Namun dia tidak peduli, dilemparkan batu itu ke muka air yang buram.

“Lihat kan ada riak yang muncul. Riak itu seperti gelombang yang bergerak ke segala arah. Semakin dalam sungai, semakin besar batu yang kamu lempar, dan semakin kuat kamu melemparnya maka riak yang muncul juga semakin dahsyat.”

Dia melempar batu berikutnya yang lebih besar. “Lihat kan, riak yang ini tidak cepat kembali tenang!” tawanya bergelak menertawakanku.

“Terus kaitannya dengan mendorongmu apa?”

“Ya dorong aku seperti kalau kamu melempar batu sekuat tenaga.”

“Itu sama saja cari mati. Aku juga tidak tahu bagaimana menyelamatkanmu nanti.”

“Kamu tidak perlu menyelamatkanku. Saat riak waktu muncul maka antara masa depan, masa kini, dan masa lalu saling bergerak ke segala arah. Aku penasaran siapa tahu setelah tenggelam di sungai ini, aku tersadar di masa lalu atau masa depan.”

“Memangnya kamu mau apa dengan masa lalu dan masa depan?”

“Tidak ada. Cuma penasaran saja dengan cerita orang-orang bahwa sungai ini dulu pernah jernih, dan jadi sumber air minum. Aku mau tahu kalau tiba-tiba muncul di masa depan apa sungai ini kembali jernih dan bisa kuminum.”

Wuek! Wuek!

“Lebay banget sih sampai muntah-muntah gitu.”

Dengan gampangnya dia turun dari pembatas itu dan menyelonong pergi. “Sudah ah, kamu gagal paham sih. Jadi tidak asyik lagi.”

“Asyik? Kayaknya otakmu yang stres gara-gara keterusan nganggur.”

“Memangnya kerjaanmu sudah menghasilkan, makan saja masih utang.”

“Kan katanya mau kamu traktir.”

“Gayamu traktir, ya utang lagi.”

“Sialan!”

“Santai, nasi uduk masih ada kok.”

Hasan masih menggerutu soal kegagalannya menjelajah lorong waktu.

“Memangnya kamu dapat ide konyol begitu dari mana sih, San?” tanyaku.

“Orang pintarlah, memangnya dari mana lagi?”

“Sepintar apa sih dia sampai kamu mau bunuh diri?”

“Ngawur kamu. Sudah kubilang siapa juga yang mau bunuh diri!” kesalnya, dan langkahnya semakin gegas.

“Tapi ngapain ke orang pintar segala? Buat apaan?”

Dia menyetop laju kaki, berbalik dengan dahi berkerut dan alis terangkat. “Kalau kamu sakit pergi ke mana?” tanyanya.

“Ke dokter.”

“Dokter orang pintar bukan?”

“Orang pintar.”

“Kenapa aku tidak boleh ke orang pintar?”

“Memangnya kamu sakit?”

“Dunia kita yang sakit!” sengitnya, lalu sedikit berlari menuju lapak Mpok Minah dekat musala kampung.

Sepuluh menit kemudian kami sudah sibuk melahap nasi uduk, semur jengkol, dan gorengan. Di tengah kota besar ini masih ada juga kawasan yang dibilang kampung. Sejatinya cuma kerumunan perumahan padat di gang-gang sempit tempat semua bau bercampur baur.

Secara abjadiah namaku ditulis Effendi, tapi dipanggil Pendi sesuai konon katanya orang Sunda tidak bisa mengeja ‘f’ dengan fasih. Asalku dari Karawang. Tidak jauh sih dari Ibu Kota. Namun tugasku di sini adalah merantau, mencari mata pencaharian yang sulit kudapat di kampung halaman. Bukannya tidak ada, pasti ada, tapi bergaji rendah. Kerja di pabrik contohnya. Sedangkan orang tuaku marah besar kalau aku masuk pabrik. Alasannya karena pabrik-pabrik itu telah menggusur lahan kerja ayahku sebagai buruh tani. Nasihat ayahku dalam tertanam di kepala. “Dulu Karawang-Bekasi berjuluk lumbung padi. Kini lumbung industri,” katanya.

“Dulu makanan kita ditanam tanpa pestisida. Kini pestisidanya langsung dari pipa-pipa. Dulu irigasinya dari aliran sungai jernih. Kini bertumpah ruah limbah. Dulu angin bebukitan hilir mudik di surau kami. Kini menghantam beton-beton. Namun lidah kita masih sering terngiang bait-bait indah itu. Ya … Karawang-Bekasi … Karawang-Bekasi.” Ayahku selalu meneteskan air mata bila mengingatnya. Kini Ayah membantu Ibu jualan gorengan dan seduhan kopi di pinggir bentangan aspal kaveling-kaveling gedung. Biasanya para pekerja atau supir truk-truk besar bersedia mampir kala sirene jam istirahat menggeram.

Aku memutuskan pergi daripada harus menyakiti hati mereka. Tidak seperti teman-teman sebayaku yang menyerahkan nasib di hanggar-hanggar baja. Di Ibu Kota ini aku mengadu nasib untuk mencari penghasilan tambahan. Namun pilihan yang terlanjur kubuat itu nyatanya belum membuahkan apa-apa. Setiap hari aku menarik kayuh odong-odong dari lorong ke lorong. Hasil yang kudapat justru habis untuk setoran. Untungnya aku bertemu si gila bernama Hasan, tapi sehingga kami bisa menyewa sebuah kamar berdinding triplek yang sumpek nan pengap.

Aku tidak terlalu mengenal terlampau dalam siapa Hasan. Yang kutahu dia dari pulau seberang. Entah Sumatera bagian mana. Kami sama-sama pendatang baru di sini. Hampir lima bulan sejak kami bertemu, Hasan masih menganggur. Namun tampaknya dia datang tidak dengan tangan kosong sepertiku. Buktinya dia masih bisa makan tanpa mengutang dan menambal biaya kontrakan. Perjumpaan kami juga kuanggap suatu kebetulan yang janggal.

Siang itu matahari terasa demikian terik sehingga badanku gatal. Entah disebabkan keringat atau akibat air sumur yang kugunakan untuk mandi — baunya nyaris setara comberan. Biasanya aku sengaja leha-leha di bawah payung teduh berbentuk pohon rimbun dekat sekolah. Namun kulihat sosok asing di sana merebut tempat mangkalku. Bahkan kegilaannya sudah dia tunjukkan dengan mengomel sendirian sambil menendangi pohon itu. Tidak ramai orang saat itu. Anak-anak sekolah belum keluar. Amarahnya cukup bising bagiku.

“Bang,” tegurku. “Ada apa nih ngamuk sendiri?”

“Bukan urusanmu, aku lagi kesal sama pohon ini.”

“Kesal sih boleh Bang, tapi Abang dongkol sendiri palingan. Mana mengerti pohon ini sama omelan Abang.”

“Jangan salah kamu. Pohon juga punya telinga. Dia bisa mendengar apa pun, meski cuma di batin kamu doang. Makanya banyak yang anggap pohon tuh keramat suci, apalagi yang besar-besar kayak begini. Itu yang bikin aku tambah benci.”

“Oh, Abang benci karena banyak yang menyembah dan kasih sesajen ke pohon? Tenang saja, Bang. Di sini orang-orangnya sudah pada pintar, tidak percaya takhayul yang begituan. Lagi pula kata Pak Ustaz di televisi hukumnya syirik. Tapi Abang jangan sampai mau tebang pohon ini, soalnya orang-orang kayak saya masih butuh buat mengaso.”

“Eh, siapa juga yang mau tebang. Kalau aku bawa kapak, baru kamu boleh bilang begitu.”

“Terus Abang kenapa marah-marah?”

“Ah, sudahlah. Kamu tidak mungkin mengerti.”

Kemudian dia mengistirahatkan punggungnya di batang pohon itu. Napasnya agak tersengal-sengal. Akhirnya, aku menemaninya duduk sambil memijat kakiku yang pegal.

“Itu becak kamu ya?”

“Bukan becak, Bang. Odong-odong namanya.”

“Iyalah, tahu aku. Omong-omong namaku Hasan. Jangan panggil Abang.”

“Pendi, Bang … eh, San.”

“Sudah lama narik odong-odong?”

“Baru kok. Belum lama juga tinggal di sini.”

“Sama kalau begitu. Aku juga pendatang.”

Obrolan kami berikutnya mengalir dan banyak melantur. Aku pun tidak keberatan begitu dia menawarkan untuk tinggal seatap. Bukankah rumus hidup di kota besar tidak boleh terlalu percaya dengan orang yang baru kita kenal? Bahkan dia bukan orang dari daerah yang sama denganku. Biasanya pendatang baru di Ibu Kota akan mencari kawan sesuku, sekampung, seasal, sebahasa daerah. Paling tidak, ada kesamaan identitas yang sedikit banyak bisa menenangkan rasa was-was. Adapun hal yang menurutku paling meyakinkan mengapa aku menerimanya lantaran dia berjanji akan membantu membayar kontrakan. Malahan bagian yang harus dia bayar lebih banyak dariku. Namun belakangan ini aku merasa khawatir sebab dia tak kunjung mendapat pekerjaan. Pernah kusarankan untuk sementara menarik odong-odong denganku, tapi dia menolak. Aku cemas kalau nanti simpanannya habis sebelum akhir tahun, justru keberadaannya yang akan membebaniku.

Di sela menikmati santapan Mpok Minah, tiada salahnya kucoba membuka pembicaraan tentang itu. “Sudah ketemuan sama orang yang kemarin katamu nawari pekerjaan?”

“Sudah, tapi aku tidak tertarik.”

“Memangnya orang itu nawari kerjaan apa?”

“Jadi tukang ngurusi taman.”

“Ngurusi taman? Bagaimana ceritanya tuh bisa ketemu dia?”

“Aku hubungi nomor telepon yang dikasih mamakku di kampung. Ketemulah kita. Ternyata dia masih sekampung denganku, kerja di pemerintahan sini. Katanya sekarang ini banyak lahan gusuran yang mau dijadikan areal hijau. Mau ditanami pohon sama kembang gitu katanya.”

“Bagus dong. Banyak proyek juga tuh. Kamu bisa dapat penghasilan tambahan.”

“Sebaliknya, aku tolak pekerjaan itu.”

“Sombong itu namanya. Dapat rezeki malah ditolak.”

“Kamu kan tahu kalau aku benci sama pohon-pohonan.”

“Memangnya ada yang salah merawat tumbuhan? Pekerjaan kayak begitu yang kelihatannya rendah, justru sangat mulia. Jangan gampang menyepelekan, San.”

“Apanya yang mulia? Gajinya juga tidak seberapa. Lagian kamu tidak boleh terlalu baik hati terhadap pohon-pohon.”

“Kamu mah aneh. Coba sekarang kamu baca tuh di koran-koran. Banyak kebakaran hutan, terus ada pembalakan liar, penggundulan hutan, yang semuanya bisa bikin udara tambah panas gara-gara lapisan ozon tambah tipis.”

“Kejauhan kamu mikirnya. Nanti juga semuanya bakalan pulih sendiri.”

“Pulih sendiri bagaimana?”

“Kita kan tinggal di Bumi Tuhan. Sudah pasti dijaga sama Dia-lah.”

“Atuh itu sih konyol namanya, San. Justru karena kita tinggal di Bumi jadi kudu merawat tempat tinggal kita. Kan ini Bumi manusia juga.”

“Terus apa yang kamu harapkan dari merawat Bumi? Tidak ada yang peduli kan. Manusia hidup yang penting sejahtera. Yang penting cari nafkah buat makan. Bertahan hidup buat tidak mati kelaparan. Urusan Bumi ini mau bagaimana sudah ada yang mengatur.”

“Jadi kalau ada kebakaran hutan didiamkan saja sampai pulih sendiri?”

“Ya iyalah.”

“Sinting itu namanya.”

“Daripada kita sebagai manusia jadi sengsara?”

“Justru kita sengsara karena kita yang sengaja merusak alam.”

“Kamu boleh ngomong begitu, tapi kamu baru akan setuju denganku kalau pernah tinggal di kampungku.”

“Kampung kamu?”

“Iya. Kampungku dikelilingi hutan lebat. Kami mencari penghidupan dari hutan. Pohon-pohon itu menghidupi semua orang turun-temurun. Kadang kami tebang untuk mendirikan rumah-rumah yang tahan gempa, atau untuk membuat kebun yang hasilnya bisa kami jual ke pasar. Yang paling laku adalah kelapa sawit. Banyak penduduk membuka lahan untuk kelapa sawit. Dari situ kami benar-benar mandiri. Untuk makan pun tidak sulit karena hutan juga menyediakan aneka hewan buruan.”

“Terus?”

“Kemudian datang orang-orang berseragam memagari hutan kami sebagai taman nasional. Kami dilarang memanfaatkan apa pun yang berasal dari hutan. Padahal, pohon-pohon itu juga bukan punya mereka. Namun kami pula yang diperintahkan — kadang dengan senjata — untuk menjauhi hutan dengan alasan melestarikan paru-paru dunia. Mereka datang dengan mobil-mobil, lalu seenaknya memerintah agar kami merawat pohon-pohon itu. Tahu apa akibatnya?” Aku hanya bisa menggeleng.

“Perlahan-lahan kemiskinan menjalari kami. Tidak ada yang bisa kami jual. Sementara untuk makan pun, kami mesti membeli. Dilarang berburu, membuka kebun, bertukang atau menjual kayu. Satu per satu pemuda di kampungku pergi keluar. Mereka pindah ke kota-kota. Kini di sana isinya cuma para jompo yang tinggal menunggu ajal. Kampungku semula tenteram berubah suram. Itu semua karena pohon-pohon itu menyimpan dendam lantaran dulu sering kami tebang. Akhirnya, mereka mengadu kepada orang-orang berseragam.”

“Dan sekarang giliran kamu yang menumbuhkan dendam terhadap pohon-pohon itu?”

“Tepat sekali! Aku ingin mereka semua ditebang habis sampai punah. Lihat contohnya di Ibu Kota ini. Seluruhnya telah berganti pohon-pohon beton yang semakin jangkung. Malahan tumbuh pesat. Semua orang datang ke sini untuk mencari makan. Aliran uang berputar deras di sini. Inilah pohon-pohon yang sungguh menyejahterakan manusia. Tidak pendendam dan pengadu seperti di kampungku. Andaikan rimba Ibu Kota bisa dipindahkan ke sana, orang-orang kampungku pasti sejahtera.”

“Menurutku itu pikiran yang keliru, San. Apa kamu tidak sadar kebanjiran yang saban tahun menimpa kota ini, bahkan orang-orang di seluruh Indonesia diajak melalui layar kaca untuk meratapi Ibu Kota negara, gara-gara pohon berganti beton?”

“Namanya waktu tidak dapat diubah. Seperti sungai, kamu lempar batu ke dalamnya sampai menimbulkan riak air, tapi arus sungai akan kembali seperti semula. Tak peduli apa yang kamu lakukan. Sungai selalu mengalir ke arah yang sama. Jadi, yakin saja jika suatu waktu semua akan kembali pulih pada waktunya.”

“Hah? Astaga, San! Kalau semua pulih pada waktunya, ngapain juga kamu ngotot menceburkan diri ke Ciliwung cuma supaya bisa berangan-angan bisa meminum air sungai yang jernih. Boro-boro sungai kayak begitu mau jernih, air sumur di sini saja butek.”

“Aku tidak ngotot.”

“Terus apa?”

“Cuma tidak sabaran saja menunggu masa depan ketika semua pulih pada waktunya.”

“Yaampun.” ujarku sambil tepuk jidat. Sementara Hasan berlalu pergi seraya berujarpada Mpok Minah, “Ngutang dulu ya, Mpok.”

Cerpen dan puisi K. Elkazhiem lainnya dapat dibaca di sini

--

--