Lembayung di La Seine

K. El-Kazhiem
10 min readOct 20, 2020

--

sumber foto: pixabay/macadam13
sumber: https://pixabay.com/id/photos/gadis-seine-paris-pembacaan-buku-803812/

Jika manusia berhak menentukan takdir, mungkin aku akan memilih takdirku sendiri. Menjadi seekor kupu-kupu taman kota, atau bahkan seekor ikan yang hidup di laut lepas. Ini bukan berarti aku pengecut tidak mau menjadi manusia. Sama sekali tidak. Hidupku seakan menggantung antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Entah apakah aku bahagia, atau hanya menjalani siklus hidup yang itu-itu saja. Seperti mengelilingi bulevar-bulevar besar berlebihan cahaya yang membuat gelap mata.

Paris bukanlah kota cinta sebagaimana bayangan orang-orang di negeri asalku. Namun tetap kota spektakuler yang dijejali citra dan ilusi, dari kaca-kaca sangat besar yang bersinar di setiap kafe hingga pantulan tanpa akhir di kaca-kaca toko. Ilusi paling kuat dari semuanya adalah tentang sejarahnya sebagai tempat penyimpanan dari semua hal terbaik dan hebat dalam semangat manusia.

Kemacetan, polusi yang mencekik leher, dan kehilangan rasa aman, telah menipiskan keramahan Parisian, sebutan untuk penduduk kota Paris. Para turis dari pelbagai negara mulai menjuluki Parisian sebagai selera buruk bagi pelancong. Dengan nada putus asa mereka menyerukan agar Paris sebaiknya tanpa Parisian, apalagi jika menyapa dengan bahasa Inggris, mungkin hanya ketidakacuhan sebagai jawaban paling sopan yang diberikan oleh orang-orang yang kerap membanggakan kota mereka sebagai Ibu Kota dunia.

Ketika mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Paris, yang kubayangkan adalah berfoto di depan menara Eiffel, berbelanja di sepanjang Champ Elysees, mengeksplorasi Museum Louvre, jalan-jalan keliling Eropa ketika libur tiba. Atau mungkin melukis di Montmartre tempat Van Gogh dan Picaso dulu sering berkarya. Menghabiskan waktu di cafe La Procope, tempat ngopi langganan Voltaire dan Victor Hugo. Atau tenggelam belanja buku di Shakespeare and Company, tempat Hemingway dulu sering menghabiskan waktu. Namun, mungkin lebih tepat kegiatan seperti itu dipraktikkan oleh turis, bukan pelajar.

Setelah mengikuti tes masuk Universitas Sorbonne Nouvelle, kuputuskan untuk tetap tinggal di Paris daripada kembali ke Indonesia hanya untuk menunggu pengumuman diterima atau tidaknya. Lagi pula biaya bolak-balik terlampau mahal. Kontrakku dengan keluarga homestay hampir habis. Untungnya aku bertemu dengan Rino yang menawariku berbagi flat dengannya. Dia mahasiswa Indonesia pertama yang kukenal di negeri ini.

Selain denganku, Rino juga tinggal bersama pasangannya Thierry. Awalnya, aku merasa enggan setelah mengetahui kalau Rino seorang gay. Tapi tidak lama aku menyadari bahwa, seorang homoseksual tidak jauh berbeda dengan heteroseksual. Baik Rino dan Thierry tak pernah mengusik urusan pribadiku, apalagi soal percintaan. Malahan dia banyak membantu dalam hal bahasa. Selain mengajakku jalan-jalan agar aku dapat belajar berkomunikasi dengan orang Prancis, dia juga menyuruhku sering membaca, menonton TV dan mendengarkan radio untuk membiasakan telinga mendengar dan memperkaya kosakata bahasa Prancis. Satu kata bisa bermacam makna, tergantung konteks kalimat, itu yang kerap membuatku bingung.

“Hati-hati kalau berjalan sendirian sementara kamu enggak bisa bahasa Prancis.” demikian nasihatnya. Ternyata aku pernah mengalami kejadian seperti itu di suatu sore. Lantaran ingin melihat Montmartre yang tersohor, aku sengaja menuju kawasan itu sendirian. Tiba-tiba seorang perempuan mendekatiku. Awalnya berlagak ramah menanyakan apakah aku bisa berbahasa Inggris. Tapi kemudian perempuan itu menyodorkan kertas sembari meminta 10 Euro. Tak jauh dari sana kulihat beberapa pria. Langsung kugelengkan kepala berikut telapak tanganku.

“ÉtudiantÉtudiant …,” ucapku beberapa kali menyatakan bahwa diriku pelajar.

“No moneyno money.” tambahku bercampur bahasa Inggris.

Buru-buru aku mempercepat langkah dan agak berlari sampai gerombolan itu hilang dari pandanganku. Rino langsung tertawa begitu kuceritakan peristiwa itu.

“Paris adalah neraka. Iblis manis akan membunuhmu,” ucapnya mengutip perkataan sastrawan entah siapa namanya.

“Dasar gipsi!” kata Thierry setelah mendengar cerita Rino. Sedangkan tampangku cuma melongo.

Dua bulan pertama perasaan sungguh tak menentu. Jangan-jangan aku sudah tak betah di sini, atau mungkin sedang rindu berat kampung halaman. Namun aku tak ingin menyerah, meski kutahu kota ini bisa menjadi monster yang larut dalam keluhan. Tidak jarang aku mendengar cerita Rino tentang perlakuan rasis serta anggapan bahwa orang Asia begini-begitu. Sedikit banyak, aku kerap menaruh curiga dan waspada bila ada yang menyapaku selain orang Indonesia. Tak terkecuali sahabat-sahabat Thierry dan Rino yang bertandang ke flat kami. Terus terang aku semakin kesulitan bergaul dan bahasa Prancisku tiada kemajuan.

Tiba musim panas. Tampaknya semua orang menyambut sukacita agenda liburan mereka. Rino dan Thierry sudah merencanakan tujuan rekreasi. Orang tuaku menelepon bahwa hasil tesku sudah datang, dan aku diterima di jurusan sastra. Kukatakan pada mereka ogah pulang kampung lantaran masih harus mengikuti kursus bahasa yang waktunya bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah. Jadilah nasibku sendirian di apartemen.

“Carilah hiburan,” saran Rino, “terutama pacar. Kelihatan kok kamu butuh pacaran.”

“Pacar, bukankah pacaran justru menghambat kuliahku?”

Namun menurut Rino, di sini berbeda. “Kalau kamu sudah pernah membaca Perempuan Paris karya Motinggo Busye, pasti kamu tahu maksud ucapanku.” jelasnya.

Aku pernah membaca novel tersebut. Secara umum, dikatakan bahwa, perempuan di negeri ini lebih mementingkan cinta daripada perkawinan. Mereka lebih suka dengan lelaki dari negara lain. Mereka mencari nafkah sendiri dan takkan menjadi beban. Rata-rata perempuan Paris memburu ilmu pengetahuan selain gila mode. Jika aku mengikuti saran dari bacaan itu, aku bisa menemukan tipikal perempuan begitu di toko-toko buku, museum, galeri seni, dan dengan gampang memikat salah seorang dari gadis-gadis yang menyenangi lukisan-lukisan. Ada petuah yang menggiurkan untuk selalu kuingat; “Perempuan paris seperti ikan-ikan betina. Dan justru tukang pancing yang ditunggunya. Malah ikan-ikan itu akan membuat kutukan andaikata tidak datang tukang pancingnya.”

Tapi itu kan dulu. Zaman sekarang tentu berbeda. Mana ada perempuan Prancis menyukai lelaki Indonesia yang notabene berkulit coklat, hidung pesek, dan berpostur pendek. Apa yang dituturkan dalam novel itu cuma angan yang tidak kesampaian. Mungkin penulisnya tidak bisa menerima kenyataan bahwa, secara fisik memang lelaki Indonesia sudah mengalami keminderan dibandingkan lelaki Eropa.

Suatu hari aku sengaja membuat diriku tersesat. Siapa tahu jika kesasar akan kutemukan pengalaman baru. Kunaiki bus turis yang mengangkutku keliling Paris. Sebagian besar perjalanan kulalui dengan tidur yang lebih nyenyak dibandingkan tidur di kamarku sendiri. Baru kusadar ketika matahari mulai berselimut cakrawala Lai Seine. Di situ aku sengaja turun untuk jalan kaki. Banyak orang yang berpapasan denganku. Apa yang harus kulakukan pada orang yang lewat di hadapanku. Seperti ada rasa yang kurang bila aku hanya berpapasan dan lewat begitu saja tanpa ekspresi. Di sebuah gang kecil dan lengang seorang perempuan muda berjalan tergesa-gesa. Mata kami sempat beradu, tapi segera dia mengalihkan seiring langkahnya hilang di kelokan. Aku kembali mencari arah pulang.

Malamnya, pikiranku masih bermesraan dengan tampang cuek dan rambut acak-acakan perempuan itu. Ada keinginan untuk sedikit mencicipi minuman di Café de Flore. Namun aku takut salah cicip dan khawatir keterusan hingga mabuk. Padahal, keadaanku juga mirip orang teler. Aku tak tahu lagi hari apa ini. Seperti Charles Baudelaire dalam puisinya: “… tanyakanlah tentang waktu. Angin, gelombang, bintang, burung, dan jam akan menjawabmu; ‘ini waktunya mabuk-mabukan … dimabuk anggur, dimabuk puisi, atau dimabuk apa saja yang engkau mau.”

Mungkin buat orang semelankolis diriku, puisi lebih mujarab dari resep dokter. Tapi tak terlalu ampuh untuk menggulung insomnia, bahkan wabah galau semakin menjangkiti. Karena itu, aku sengaja melelahkan tubuhku. Hari berikutnya kukunjungi katedral Notre Dame yang dihinggapi patung monster bersayap dan kaca-kaca buram yang mengilhami Victor Hugo menulis kisah Quasimodo, si bungkuk yang mempraktikkan ungkapan klise ‘cinta tak harus memiliki’ kepada Esmeralda si perempuan gipsi. Alih-alih mendekat, gara-gara lonceng yang memekakkan telinga, kakiku malah menggiringku ke sebuah gerai es krim Berthillon.

Yang kulakukan hanya menatap kosong walau mataku mengarah ke menara katedral itu. Barangkali mirip Jean-Paul Sartre yang sedang menikmati pemandangan di sekitar taman. Saat itu dia merasa memiliki taman tersebut karena duduk sendirian, dan ketika ada orang yang datang, maka dia merasa dunianya direnggut oleh orang itu. Lalu bagaimana denganku? Duniaku bukan lagi direnggut seseorang, tapi dicabik-cabik oleh ramai manusia yang mengunjungi daerah wisata ini. Lamat-lamat sampai kudapanku habis. Tiba-tiba kesadaranku dikejutkan oleh si muram dari Notre Dame. Gadis pemilik wajah trauma itu. Kini kepalanya agak tertunduk, dan matanya sembap. Aku hendak menyapa, tapi urung karena tampang masa bodohnya. Tentu aku terkesima. Gadis berambut pirang pekat dan bermata biru itu sontak membius akalku.

“Excusez-moi, vous allez bien?”

Kata-kata itu lepas begitu saja mendahului keberanianku. Maksudku adalah menanyakan apakah dirinya baik-baik saja. Mungkin karena rasa penasaranku atas apa yang membuatnya sendu. Namun ada sikap sok kesatria mulai menyusup ruang batinku.

“Ce n’est pas tes affaires!” Bentaknya.

Tatapannya sengit sejenak, lantas menghambur pergi. Meninggalkanku yang cukup syok oleh sikapnya. Bahkan aku masih memikirkan kejadian itu saat nongkrong di Les Deux Magots. Memang sih kesedihannya bukanlah urusanku. Kusesap kopiku sambil memerhatikan lalu-lalang manusia di Saint-Germain des Prés. Aku merasa tolol sendiri seakan hendak mencampuri urusan pribadinya. Alangkah bahagianya hatiku andai bisa melihatnya lagi. Jika itu terjadi, apakah takdir atau hanya kebetulan?

Aku bukan pilot, tapi aku telah melintasi Samudra Hindia dan mendarat di Bandara Charles de Gaulle; naik taksi menuju Arc de Triomphe, sebuah monumen megah warisan Napoleon Bonaparte; menggandeng tanganmu di trotoar The Champ Élysées. Namun aku belum bisa menemanimu makan malam di Au Perre Tranquille, di Les Halles; atau membelikanmu setangkai mawar dari penjaja bunga dekat Hotel de Ville yang tua dan bersejarah. Ah, tidak. Semoga aku tak terobsesi padanya, pungkas pikiranku.

Pagi harinya aku berlagak menjadi orang Prancis dengan sarapan croissant dan menyusuri pinggiran sungai Seine yang menawan. Tanpa membuang waktu berfoto sendirian, alias selfie, istilah zaman sekarang. Lagi-lagi kemari. Rupanya aku masih mengharapkan bisa bertemu dengannya. Musim panas di sini tidak terlalu panas. Paling banter suhunya dua puluh lima derajat. Tidak seperti Jakarta, Surabaya, atau Samarinda. Di atas Port des Arts, gadis itu termenung sendiri. Matanya memerhatikan aneka gembok cinta dan kartu bertuliskan janji hati.

Sehelai sapu tangan kusodorkan. Dia mendongak. Dalam diam kami saling berpandangan. Mendadak tawanya meledak. Sepertinya aku terpikat dengan orang gila.

“Apakah ini punyamu?” tanyaku saat melihat sebuah kunci di dekatnya. Diambilnya kunci itu dan dilempar jauh-jauh. Aku semakin penasaran sekaligus curiga jikalau dia sedang mempermainkanku.

“Hei, kenapa?”

“Bukankah seharusnya begitu?”

“Baiklah, di sini memang jembatan cinta. Tapi caramu membuangnya justru menampakkan kekecewaan.”

Sebenarnya kami berbincang dengan bahasa Inggris. Makanya kemudian dia agak kebingungan dengan bahasa Inggrisku yang bisa kukatakan masih bahasa kamus, bukan bahasa percakapan sehari-hari.

“Aksen Inggrismu aneh. Dari mana asalmu?”

“Memangnya aksen Inggris orang Prancis tidak aneh?”

Kuakui dia lebih terbuka sampai usil mengomentari soal aksentuasi.

“Tapi seluruh dunia bisa langsung menebak, tidak sepertimu. Kamu pasti dari Asia, tapi aku tidak tahu. Bukan Cina atau Jepang, apalagi Arab.”

“Indonesia,” jelasku.

“Oh, jauh sekali.”

“Kamu tahu?”

“Dari namanya pasti jauh sekali.”

Capek deh, cetus batinku. “Je m’appelle Rama.”

“Ha ha ha … bagus, dari mana kamu belajar itu?”

“Di sini. Je suis étudiant.”

“Ou étudies-tu?”

“Sorbonne Nouvelle.”

“Wow, berarti kita ada kesamaan ya.”

“Kamu juga di sana?”

“Oui. Selamat datang di Paris. Aku Louise.”

“Merci beaucoup.”

“Biar kutebak, kamu mengambil bidang literatur?”

“Benar.”

“Kenapa? Nobel sastra sudah langganan Prancis, negaramu tidak akan pernah dapat.”

“Katanya sih dulu ada yang nyaris dapat. Pernah dengar Pramoedya Ananta Toer?”

“Oh, jadi dia dari negaramu. Hebat!”

“Kamu tahu?”

“Siapa yang tidak tahu penulis hebat itu. Di sini karyanya termasuk bacaan wajib mahasiswa literatur.”

Senyum semringah dan benderang di matanya tak mampu kuhindari. Dari perkenalan singkat dan obrolan menyenangkan, sepertinya aku mulai jatuh cinta. Mungkin Louise adalah gadis pertama yang dekat denganku. Sejak masuk sekolah, aku tidak pernah memasukkan nama perempuan di kehidupanku, kecuali ibu dan adikku, Hara. Namun demikian, sisi lain diriku menyerukan penolakan lantaran prioritas utamaku di negara ini adalah kuliah, bukan pacaran. Aku harus tahu diri; siapa dan dari mana.

“Kamu nggak akan bisa meraih cita tanpa cinta.” ujar Rino ketika kuceritakan tentang Louise melalui telepon.

“Kalau ingin meraih cita-cita berarti harus cinta-cinta?”

“Ha ha ha … bisa sih.”

“Masa kuliahku di sini cuma dijatah untuk tiga setengah tahun. Belum lagi beasiswaku.”

“Kamu bisa sambil bekerja. Jangan takut dengan Paris, The City of Lights. Malam di sana terang benderang hampir seperti siang.”

“Kata-kata siapa lagi tuh yang kamu kutip?”

“Thierry.”

“Ngawur!”

“Ha ha ha ….”

Saat musim panas, biasanya orang-orang menghabiskan waktu di tepi Seine dengan berjemur. Bahkan areal air mancur menjadi sangat ramai pengunjung bak tengah menghadiri festival. Baru-baru ini pihak kepolisian mengeluarkan larangan berjemur telanjang, meski ada juga yang curi-curi kesempatan dengan alasan mencokelatkan kulit. Aku berusaha tepat waktu untuk bertemu Louise, dan rupanya terlalu cepat. Kami janjian di tempat ini.

“Hei, maukah kamu berpuisi?” tanyanya begitu sampai.

“Berpuisi?”

“Iya. Lihat di sana ada yang bermain musik, berteater, melukis, dan kamu berpuisi.”

“Puisi siapa?”

“Siapa saja.”

“Jadi, kamu sedang mengujiku ya?”

Louise tersenyum. Senyuman yang mengacaukan pikiran sekaligus menantang nyaliku. Namun terbersit di pikiranku penggalan kata-kata indah yang pernah kubaca dalam surat Sartre kepada Simone de Beauvoir. Lalu kumantapkan diri saat menaiki podium buatan di pelataran Place De La Concorde. Para seniman jalanan ada yang sekadar melirik, ada pula yang mendekat. Tentu kegugupan menyerangku seketika.

“I ammastering my love …,” ucapku agak terbata-bata, “I am mastering my love for you and turning it inwards as a constituent element of myself. This happens much more often than I admit to you, but seldom when I’m writing to you. Try to understand me: I love you while paying attention to external things ….”

Tiada reaksi dari para pendengar dadakanku, tapi setengah menit kemudian mereka bertepuk tangan. Aku merasa segan dan tersipu. Karenanya kupalingkan wajah mencari Louise. Yang kutemukan dia telah menjauh.

“Louise.” Aku berteriak memanggilnya, tapi dia tak menghiraukan.

“Louise, kamu kenapa?” tanyaku seraya menggamit lengannya. “Louise!”

“Apa?!” teriaknya.

“Mengapa kamu pergi begitu saja? Qu’est-ce qui ne va pas?”

“Kamu!”

“Aku.”

“Ya. Kenapa kamu membacakan kata-kata itu?”

“Kamu yang menyuruhku kan?”

“Tapi bukan ucapan Sartre itu.”

“Aku tidak tahu lagi. Itu yang muncul tiba-tiba di benakku.”

“Kamu tahu kenapa aku membuang kunci di jembatan itu?”

“Aku — “

“Laki-laki yang mengatakan itu padaku setahun lalu tidak pernah kembali.”

“Mana kutahu soal itu, Louise. Kamu tidak menceritakan apa pun.”

“Dan dia muncul tiba-tiba, persis seperti kamu.”

Louise berbalik dan langkahnya hanya bisa kupandangi semakin lama menghilang di antara kendaraan. Semilir angin begitu sejuk melenakan kepedihanku. Perlahan sepenuh inderaku mengigau. Kuhirup bau dengan mataku, kusaksikan segalanya lewat lubang hidungku. Aku kembali berbaring di kamar memandangi awang-awang yang kusam.

Hari-hari berikutnya aku sering tidur siang hari. Tampaknya, gairahku kini tengah mencoba dan mengujiku. Merapatkan cermin ke bibirku yang masih bisa bernapas. Apakah aku bisa tahan terhadap ketiadaan di siang hari. Aku tak bergerak. Entah sampai kapan. Mungkin sampai jadwal kuliahku mulai aktif. Cinta telah gagal mempertahankanku sebagai manusia utuh. Melucutiku hingga hasrat terakhir yang kupunya tinggal kesia-siaan belaka. Jika musim panas ini telah berguguran, dan ragaku harus kupaksa menyambangi dunia kampus, aku takut bertemu Louise yang cintanya bersemi kembali dengan yang lain. Perlahan mataku memejam kala matahari terbenam.

Cerpen dan puisi K. El-Kazhiem lainnya dapat dibaca di sini.

--

--